A. Hubungan Ilmu, Filsafat dan Agama
O
Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu, filsafat dan agama memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan terhadap pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu lebih bersifat empiris, filsafat lebih bersifat ide dan agama lebih bersifat keyakinan. Menurut Muhammad Iqbal dalamRecontruction of Religious Thought in Islam sebagaimana dikutip Asif Iqbal Khan (2002), “Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama bergerak dari individu ke masyarakat. Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan dengan keterbatasan manusia. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal, 2002: 15)
Menurut Asif (2002: 16), sekalipun diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer, tetapi mempunyai tujuan yang sama dengan para ilmuwan Islam pada abad pertengahan yaitu menyeimbangkan agama di satu pihak dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat utama sebagaimana tertuang dalam pendahuluan buku rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi filsafat religious Islam sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan lebih lanjut berbagai bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan optimis, “waktunya sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk suatu harmoni yang tidak saling mencurigai satu sama lain”.
Untuk lebih adilnya dalam menilai hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan Endang Saifuddin Anshari (Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di samping adanya titik persamaan, juga adanya titik perbedaan dan titik singgung.
Baik ilmu maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. (Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979: 169)
Masih menurutnya, baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi secara radikal dan integral serta universal tidak merasa terikat dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif), sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna. Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik singgung, adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masing-masingnya, namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang dengan keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak bisa menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat dijawabnya. Sementara akal budi, mungkin dapat menjawabnya.
Hemat penulis, ketiga-tiganya memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama diyakini bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan filsafat, selama difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu. Adapun agama dapat diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang dapat dipertangung jawabkan. Rabbanâ Zidnâ ‘Ilman war Zuqnâ Fahman … Allâhumma Faqqihnâ fi al-Dîn
.
.
(http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/27/hubungan-ilmu-filsafat-dan-agama-458566.html).
B. BERPIKIR BENAR DAN RASIONAL
A. Pengertian berpikir
Berpikir adalah suatu kegiatan
mental yang melibatkan kerja otak.Walaupun tidak bias dipisahkan dari aktivitas
kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak.
Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan
dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada obyek tertentu,
menyadari secara aktif dan menghadirkannya
dalam pikiran kemudia nmempunyai wawasan tentang obyek tersebut.
Berpikir juga berarti berjerih-payah
secara mental untuk memahami sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari
persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan
memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan,
menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan,
melihat kemungkinan- kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis menalar
atau menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada, menimbang, dan memutuskan.
B. Kebenaran
Sesungguhnya,
terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional,
kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik
(Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan5 teori
kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi,
kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan,
Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagiyaitukebenaran paradigmatic. (Ismaun; 2001).
·
KebenaranKoherensi, Kebenaran koherensi yaitu
adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu
yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik
berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual
rasional mau pun pada dataran transendental.
·
KebenaranKorespondensi, Berfikir benar
korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan
sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau
berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan
belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
·
KebenaranPerformatif, Ketikapemikiranmanusiamenyatukansegalanyadalamtampilanaktualdanmenyatukanapapun
yang adadibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik,
orang mengetengahkankebenarantampilanaktual. Sesuatubenarbilamemangdapatdiaktualkandalamtindakan.
·
KebenaraPragmatik, Yang benar adalah yang
konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
·
KebenaranProposisi, Proposisi adalah suatu
pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif
individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila
proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah
bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari
Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan
dilihat dari benar materialnya.
·
KebenaranStrukturalParadigmatik, Sesungguhnya
kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran
korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis
statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan
lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang
dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi.
C. CaraBerpikir yang Benar
Mengapa penting bagi kita untuk mempraktekkan cara
berfikir dan cara bekerja yang benar?
Cara berpikir yang benar akan menjadikan kita mampu untuk
mengerti dan memahami kebenaran dan kenyataan. Cara berfikir yang benar juga
akan membuat kita mampu memiliki panduan bekerja yang tepat dan kemudian dapat
bekerja dengan benar. Karena cara berfikir kita selama ini, seringkali kita
tidak dapat memahami secara sebenar
benarnya kenyataan dari persoalan yang dihadapi. Misalnya cara berfikir yang
banyak menimpa kalangan kaum tani/nelayan, bahwa penderitaan dan kemiskinan
mereka selama ini sudah merupakan takdir/nasib yang tidak dapat dirubah. Cara
ini telah membuat kaum tani/nelayan tidak melihat dengan sebenar benarnya bahwa
ada sebab sebab konkrit yang mengakibatkan penderitaan dan kemiskinan mereka,
yaitu penindasan imperialisme dan feodalisme sehingga pada prakteknya
sebagian besar kaum tani/nelayan belum terdorong untuk bangkit, bergerak dan
mengorganisasikan diri guna menghancurkan sebab sebab penderitaan dan
kemiskinan mereka.
Apa tujuan kita untuk berfikir yang benar?
Apa cukup untuk dapat memahami dan mengerti tentang
kenyataan sosial yang ada di sekeliling kita, sehingga kita dapat menerangkan
apa yang terjadi? Tentu saja hal tersebut tidaklah cukup. Berfikir benar memang
akan membuat kita mengetahui dan mengerti keadaan dan kenyataan sosial, tetapi
lebih penting dari itu adalah agar kita memiliki panduan bekerja/bergerak untuk
merubah keadaan sosial tersebut ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Kita
tidak hanya dapat cukup mengerti tentang adanya penindasan kaum tani/nelayan
oleh praktek tengkulak, lintah darat, pemerintah desa atau yang lain pada saat
yang bersamaan kita juga haris mendidik kaum tani/nelayan tentang penidasan
yang mereka alami dari tengkulak, lintah darat dan pemerintah dan kemudian
mendorong terbentuknya organisasi tani/nelayan, koperasi dan perjuangan
politik. Sehingga dengan demikian kaum tani/nelayan dapat melepaskan diri dari
penindasan tengkulak, lintah darat, pemerintah dll.
Lalu apa yang menentukan kesadaran sosial seseorang?
Kesadaran sosial seseorang ditentukan oleh keadaan
sosialnya. Seorang pengusaha atau kapitalis akan selalu berfikir bagaimana
memperbesar keuntungannya karena keadaan sosialnya sebagai pemilik modal dan
alat produksi. Demikian pula tuan tanah, akan berpikir bagaimana mempertahankan
kepemilikan tanahnya yang luas dan mendapatkan keuntungan dari situ sekalipun
harus dengan menindas kaum tani/nelayan. Kaum tani/nelayan pada umumnya
memiliki keadaan sosial yang berbeda dengan buruh. Keadaan sosial kaum
tani/nelayan ialah bekerja secara perseorang atau individu asalkan ada tanah
yang dapat digarap entah yang dimiliki sendiri, sewa atau bekerja di tempat
orang lain, juga nelayan memiliki parahu dan
alat tangkap terlepas sederhana dan rusak, seorang petani/nelayan sudah
dapat bekerja atau berproduksi. Hal ini berakibat pada kesadaran sosial kaum
tani/nelayan tentang pentingnya berorganisasi sangat rendah, karena mereka
terbiasa untuk bekerja sendiri dengan alatnya sendiri atau sewa. Sementara
buruh harus bekerja secara kolektif dan tidak dapat bekerja sendiri sendiri
dalam sebuah perusahaan yang terdiri dari banyak bagian, seperti bagian
produksi, bagian pengepakan, bagian distribusi dll. Jika da sebuah bagian yang
tidak berjalan maka akan memngganggu aktifitas perusahaan, sehingga mau tidak
mau antar bagian dan antar buruh haruslah bekerja sama, tidak mengherankan
kalau dalam banyak praktek, kesadaran organisasi buruh lebih tinggi dibanding
kaum tani/nelayan.
Dari mana datangnya pikiran yang benar?
Pikiranyang benar tidak datang secara tiba tiba atau jatuh
dari langit. Tidak mungkin seorang duduk bertapa atau menyendiri disuatu tempat
yang sepi, dan tiba tiba mendapat pikiran yang benar. Pikiran yang benar hanya
berasal dari praktek sosial manusia, yaitu;
praktek produksi, praktek perjuangan kelas dan percobaan ilmiah.
Bagaimana juga dengan pengetahuan?
Pengetahuan manusia juga berasal dari praktek sosial.
Prakteklah yang menciptakan/melahirkan pengetahuan. Dan praktek juga yang
kemudian akan menguji apakah pengetahuan yang kita miliki adalah benar dan
ilmiah. Oleh karenanya, praktek menempati posisis atau kedudukan yang primer,
sehingga pengetahuan teoritik yang kita miliki juga harus ditujukan utuk
melayani praktek.
Pengetahuan ada dua tingkat, pertama adalah pengetahuan
sensasioinal, yaitu pengetahuan tentang sesuatu yang sifatnya baru di
permukaan, bentuk atau gejala. Yang
kedua adalah pengetahuan rasional, yaitu pengetahuan yang sudah bersifat
mendalam mengenai isinya dan hakekatnya. Misalnya ketika kita datang ke sebuah
kampung pedesaan, kemudian kita melihat sebagian besar penduduknya miskin,
rumah rumahnya buruk, sempit, lorong-lorong becek,anak-anaknya kurus dan pada
tidak sekolah... Pemahaman kita tersebut merupakan pengetahuan yang sifatnya
permukaan. Karena lebih didasarkan dari
apa yang kita lihat dan rasakan, sedangkan jika
kita tinggal lebih lama dan melakukan penyelidikan sosial di kampung
tersebut, maka kita akan lebih mengetahui secara mendalam bahwa kemiskinan di
kampung tersebut dikarenakan sebagain besar dari mereka tidak memiliki lahan
pertanian dan perkakas produksi yang baik, tidak memiliki koperasi, dan selama
ini terjerat oleh rentenir dan tengkulak. Pengetahuan yang mendalam tersebutlah
yang dinamakan pengetahuan rasional, tapi untuk sampai pada pengetahuan yag
rasional seseorang harus melewati dulu tahapa pengetahuan sensasional dan tidak
bisa meloncat langsung memperoleh pengetahuan rasional. Demikian juga kita
tidak boleh hanya berhenti pada pengetahuan sensasional, tetapi harus
ditingkatkan menjadi pengetahuan rasional. Tetapi tidak hanya sampai di
pengetahuan rasioanal saja, karena kemudian masih harus diuji kebenarannya
dalam praktek konkrit.
Jadi apakah yang dimaksud dengan cara berfikir yang
benar?
Cara berfikir yang benar adalah cara berfikir yang sesuia
dengan kenyataan konkrit. Tidak berfikir sesuia dengan keinginan atau fikiran
kita sendiri yang sifatnya subyektif, karena pada dasarnya ide atau pikiran
berasal dari situasi konkrit atau kenyataan. Ada beberapa prinsip yang penting
dan menjadi dasar dalam berfikir secara beanr, yaitu:
Ø
Pertama,
Antara satu hal dan hal yang lain memiliki saling hubungan yang konkrit. Untuk
dapat memahami dan mengerti suatu hal, tidak bisa dipisahkan dari saling
hubungannya dengan hal hal lain di sekitarnya. agar dapat memahami persoalan
kaum tani/nelayan dengan sebaik baiknya, maka kita harus melihat saling
hubungannya dengan kebijakan negara, saling hubungannya dengan imperialisme,
saling hubungannya dengan keberadaan tuan tanah, saling hubungannya dengan
persoala buruh dan sebagainya.
Ø
Kedua,
segala sesuatu selalu dalam keadaan berubah dan berkembang. Berarti bahwa
segala sesuatu tidak dalam keadaan yang selalu sama dan tetap. Seperti misalnya
diri kita juga mengalami perubahan dan perkembangan. Dari mulai lahir, masa
kanak kanak, masa remaja, masa dewasa, berkeluarga, masa tua dan kemudian mati.
Demikian juga organisasi tani/nelayan, dari mulai tidak ada, kecil, berkembang,
mungkin ada masalah (penyakit), kuat dan kemudian besar.
Ø
Ketiga,
perubahan atau perkembangan bergerak ke arah yang lebih maju dan bersegi hari
depan. Perkembangan tidak pernah bergerak mundur, tetapi maju dan berpihak pada
yang bersegi hari depan. Sistem yang menindas kaum tani/nelayan yaitu
imperialisme dan feodalisme adalah sistem yang sudah usang dan sekarat. karena
sistem tersebut megakibatkan penindasan dan kemiskinan. Kaum tani /nelayan
sudah tidak menghendakinya serta selalu bangkit melakukan perlawanan. Hal ini
tentunya bertentangan dengan pikiran musuh musuh rakyat, bahwa segala sesuatu
adalah tetap dan tidak berubah. Sehingga sistem yang menindas rakyat akan terus
bertahan dan tetap.
Ø
Keempat,
perubahan atau perkembangan segala sesuatu ditentukan
oleh faktor dalam atau kekuatan internal. Hal ini bertentangan dengan pikiran
metafisis bahwa perubahan lebih ditentukan oleh faktor luar. Misalnya sebuah
telur berubah menjadi anak ayam lebih ditentukan oleh pergerakan unsur unsur
kehidupan yang ada didalam putih dan kuning telur. Sementara suhu, atau panas
dari luar baik berupa panas alami dari tubuh induk ayam maupun panas buatan
seperti listrik lebih bersifat mempengaruhi
atau membantu menetasnya anak ayam. Kebenaran kesimpulan tersebut
dibuktikan ketika sebuah batu dierami oleh induk ayam atau diberi panas buatan,
maka tidak dapat menetas menjadi anak ayam. Demikian juga perjuangan kaum
tani/nelayan, lebih ditentukan oleh kekuatan internal kaum tani/nelayan
sendiri, jika kaum tani/nelayan tidak mau bangkit bergerak dan berorganisasi,
maka keadaan kaum tani/nelayan tidak akan menjadi lebih baik ke depan. Kehadiran
faktor luar seperti aktifis, LSM, Pemerintah lebih merupakan faktor yang mempengaruhi tidak menentukan
Bagaimana agar kita dapat memiliki cara berfikir yang
benar?
Untuk dapat memiliki cara berfikir yang benar, kita dapat
melakukan hal hal sebagai berikut;
Ø
terlibat
langsung dalam praktek sosial, jika kita ingin memiliki pikiran yang benar
tentang kaum tani/nelayan maka kita harus terlibat langsung dalam kehidupa dan
perjuangan kaum tani/nelayan. Karena tanpa itu kita tidak dapat merasakan
sungguh sungguh suka duka dan persoalan kaum tani/nelayan. Demikian juga jika
kita ingin memiliki pikiran yang benar tentang perjuangan kaum tani/nelayan,
maka kita juga harus terlibat langsung dalam perjuangan kaum tani/nelayan.
Ø
membangun
tradisi penyelidikan sosial. Jika kita ingin memiliki pikiran yang benar,
tentang kenyataan maka kita harus mau menyelidiki keadaana sosial yang ada.
Jangan sampai kita mengeluarkan banyak pernyataan dan pikiran tanpa terlebih
dulu mengetahui kenyataan sesungguhnya. Untuk mengetahui bagaimanan
perkembangan organisasi tani/nelayan di suatu perkampungan maka kita tidak
boleh segan segan melakukan penyelidikan sosial tetang organisasi tani/nelayan
di kampung tersebut.
Ø
membiasakan
untuk berfikir hati hati dan dari banyak segi tentang segala sesuatu jika kita
ingin mengetahui sesutau dengan benar dan tepat, maa kita harus memikirkan
dengan hati hati dan tidak dengan serba terburu buru. Kita harus mampu untuk
menganalisis sebuah persoalan secara mendalam dari banyak segi dan saling
hungannya dengan persoalan lain. Dengan demikian kita dapat secara persis
mengatahui sebab sebab mendasar dari persoalan tersebut dan merumuskan jalan
keluarnya.
Bagaimanakah juga kita bisa bekerja yang benar?
Segala keputusan
dan pekerjaan kita haruslah didasarkan pada kondisi konkrit. Tanpa itu
maka apa yang kita putuskan dan kita lakukan akan menemui kegagalan.
Keberhasilan melakukan pekerjaan banyak ditentukan sejauh mana saling
hubungannya dengah kondisi konkrit atau nyata. Misalnya perjuangan untuk
mendapatkan kapal bagi kaum nelayan miskin akan ditentukan oleh sejauh mana
tingkat kesadaran kaum tani/nelayan dan kekuatan organisasi massa
tani/nelayannya. Apabila dalam keadaan kesadaran yang masih rendah dan keadaan
organisasi yang masih kecil dan lemah, dengan terburu buru kita akan melakukan
tuntutan atau kompromi/menjadi buruh kapal
dengan pihak pemerintah. Maka
akan dapat dipastikan perjuangan tersebut akan sulit mendapat hasil yang kita
inginkan bersama, karena tidak mendapat banyak dukungan dari kaum tani/nelayan
dan juga bujuk rayu dari pihak pemerintah. Berbeda kondisinya jika
kesadaran dan kekuatan ormas
tani/nelayan sudah tinggi dan kuat, maka perjuangan mendapatkan kapal dari
pemerintah akan berhasil didapatkan untuk kepentingan masyarakat nelayan tanpa
harus kompromi menajadi buruh kapal. Demikian juga peranan keteladanan dalam
melakukan pekerjaan sangat dibutuhkan agar mencapai keberhasilan, dalam
perjuangan mendapatkan perahu atau mesin mesin, koperasi, maka keteladanan sebuah perkampungan yang kaum tani/nalayan
yang kesadaran dan organisasi nya sudah tinggi dan kuat, akan menjadikan
kampung kampung lain disekirarnya mengikuti atau menirunya. Keteladana akan
menumbuhkan keberanian, mengusir rasa takut dan ragu ragu serta memberikan
contoh konkrit yang dapat dilihat hasilnya secara konkrit juga.
D.
Rasional
Rasional diambil dari kata bahasa inggris rational yang
mempunyai definisi yaitu dapat diterima oleh akal dan pikiran dapat dipahami
sesuai dengan kemampuan otak. Hal-hal yang rasional adalah suatu hal yang di
dalam prosesnya dapat dimengerti sesuai dengan kenyataan dan realitas yang ada.
Biasanya kata rasional ditujukan untuk suatu hal atau kegiatan yang masuk
diakal dan diterima dengan baik oleh masyarakat. Rasional juga berarti norma -
norma yang sudah baku di dalam masyarakat dan telah menjadi suatu hal yang
biasa dan permanen.
E.
Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Rasional
Asumsi dasar yang melatarbelakangi semua ilmu
pengetahuan dan pemikiran rasional secara umum adalah bahwa dunia fisik
ada, dan bahwa dimungkinkan bagi kita untuk memahami hukum-hukum yang mengatur
realitas objektif. Sebagian besar ilmuwan menerima bahwa jagad diatur oleh
hukum-hukum alam, satu fakta yang diungkapkan oleh Phillip
Anderson:"Sungguh, sulit untuk membayangkan bagaimana ilmu pengetahuan
bisa ada jika mereka tidak menerima hal itu. Kepercayaan pada hukum alam adalah
kepercayaan pada jagad ini pada akhirnya akan dapat dipahami - bahwa kekuatan
yang menentukan takdir dari sebuah galaksi akan juga menentukan jatuhnya
sebutir apel di bumi sini; bahwa atom yang memantulkan cahaya yang menerobos
sebutir intan dapat juga membentuk bahan penyusun sel hidup; bahwa elektron,
neutron dan proton yang muncul dari big bang kini dapat melahirkan otak
manusia, pemikiran, dan jiwa. Kepercayaan pada hukum alam adalah kepercayaan
pada kesatuan jagad ini di tingkat terdalam yang paling dimungkinkan.
Hal yang sama berlaku pula pada umat manusia secara umum.
Tiap penemuan baru dari ilmu pengetahuan dan berbagai bidang teknik telah
memperluas dan memperdalam pemahaman kita, tapi justru dengan demikian, juga
menyajikan tantangan-tantangan baru. Tiap pertanyaan yang terjawab segera akan
melahirkan dua pertanyaan baru. Seperti seorang pengembara yang, dengan
kegairahan yang meluap, berjalan menuju cakrawala, hanya untuk menemukan bahwa
cakrawala itu akan terus menjauh, memanggilnya dari kejauhan itu, demikian pula
proses penemuan berjalan tanpa dapat melihat garis akhirnya. Para ilmuwan
menyelam semakin dalam pada misteri dunia sub-atomik, dalam pencarian atas
"partikel terakhir". Tapi tiap kali mereka mencapai cakrawala dengan
teriakan kemenangan, cakrawala itu dengan keras kepala mundurkembalikekejauhan.
Merupakan ilusi dari tiap epos bahwa ia adalah puncak
tertinggi dari segala pencapaian dan kebijaksanaan manusia. Orang-orang Yunani
kuno mengira bahwa mereka telah memahami segala hukum jagad berdasarkan geometri
Euclides. Laplace mengira demikian pula dalam hubungannya dengan mekanika
Newton. Di tahun 1880, kepala kantor hak paten Prusia menyatakan bahwa segala
sesuatu yang dapat ditemukan telah diciptakan orang! Kini, para ilmuwan
cenderung lebih memutar dalam pernyataan mereka. Sekalipun demikian
asumsi-asumsi dibuat diam-diam bahwa, misalnya, teori relativitas umum Einstein
adalah mutlak benar,danprinsipketidakpastianmemilikipenerapan
universal.
Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bagaimana
ekonomisnya pemikiran manusia. Hanya sedikit saja yang terbuang dalam proses
pembelajaran kolektif. Bahkan kesalahan sekalipun, ketika ditelaah secara
jujur, dapat memainkan satu peran yang positif. Hanya ketika pemikiran
dibekukan ke dalam dogma-dogma resmi, yang menganggap ide-ide baru sebagai
hujatan yang harus dilarang dan dijatuhi sanksi, baru ketika itulah
perkembangan pemikiran dilumpuhkan, bahkan dilemparkan ke belakang. Sejarah
yang mengecewakan dari Abad Pertengahan yang Gelap merupakan bukti yang cukup
tentang hal ini. Pencarian batu kebijaksanaan ("The philosopher's
stone") didasarkan pada hipotesis yang keliru, namun para ahli alkimia
tetap membuat penemuan-penemuan yang penting, dan meletakkan pondasi bagi
perkembangan ilmu kimia modern. Teori ledakan besar, dengan pencariannya atas
"awal waktu" yang hanya bayang-bayang itu, hampir-hampir tidak
memiliki keabsahan ilmiah yang lebih tinggi daripada alkimia, namun, sekalipun
demikian, tidak ada keraguan bahwa kemajuan-kemajuan besar telah, dan sedang,
dikerjakan.
Seperti
yang dilihatdengantepatoleh Eric J. Lerner :"Data yang baik, yang didapat dan ditelaah secara
kompeten, selalu memiliki nilai ilmiah sekalipun teori yang mengilhaminya
keliru. Teoritisi lain akan menemukan kegunaan untuk data itu, kegunaan yang
sama sekali tidak terpikir ketika mereka pertama kali dikumpulkan. Bahkan dalam
karya yang teoritik, upaya-upaya tulus untuk membandingkan satu teori dengan
pengamatan hampir selalu terbukti berguna, tidak tergantung dari ketepatan
teorinya: seorang teoritisi pastilah akan galau jika idenya keliru, tapi
pencoretan terhadap satu kemungkinan yang keliru tidak dapat disebut membuang
waktu.
Perkembangan ilmu pengetahuan melangkah maju melalui serangkaian pendekatan
yang berlangsung bersinambungan. Tiap generasi sampai pada serangkaian
generalisasi yang mendasar tentang bekerjanya alam, yang berguna untuk
menjelaskan gejala-gejala teramati tertentu. Selalu hal ini dianggap sebagai
kebenaran mutlak, sahih selamanya dalam "semua dunia yang mungkin
ada". Walau demikian, setelah penelitian yang lebih dekat, mereka terbukti
bukan mutlak, melainkan relatif. Pengecualian-pengecualian ditemukan, yang
bertentangan dengan aturan-aturan yang baku, dan, pada gilirannya, menuntut
satu penjelasan, dan demikianseterusnyasampaitakberhingga. "Penemuan pertama adalah kesadaran bahwa tiap
perubahan skala membawa gejala yang baru dan jenis perilaku yang baru pula.
Bagi fisikawan partikel modern, proses ini tidak pernah berhenti. Tiap
akselerator partikel yang baru, dengan peningkatan enerji dan kecepatan, telah
memperluas bidang pandang ilmu pengetahuan pada partikel-partikel yang semakin
kecil dan skala waktu yang semakin singkat, dan tiap perluasan kelihatannyaselalumembawainformasi-
informasibaru.
Apakah kita dengan demikian harus berputus asa bahwa kita
tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak? Penyajian pertanyaan dengan cara
ini menunjukkan ketidakpahaman akan hakikat kebenaran dan pengetahuan manusia.
Maka Kant berpikir bahwa pikiran manusia hanya dapat memahami apa yang tampak.
Di balik apa yang tampak itu, hadirlah Thing-In-Itself, hakikat segala sesuatu,
yang tidak akan pernah dapat kita pahami. Terhadap hal ini, Hegel menjawab
bahwa pengetahuan terhadap ciri-ciri sebuah hal adalah pengetahuan terhadap hal
itu sendiri. Tidak ada tembok yang mutlak antara penampakan dan hakikat. Kita
mulai dengan realitas yang menampakkan diri mereka pada kita melalui indera
kita, tapi kita tidak berhenti di sini. Menggunakan nalar kita, kita menyelam
semakin dalam ke dasar misteri materi, berpindah dari penampakan pada hakikat;
dari yang khusus ke yang universal; yang sekunder menuju yang mendasardarifaktamenuju
hokum.
Dengan menggunakan terminologi yang digunakan Hegel untuk
menjawab Kant, seluruh sejarah ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia secara
umum adalah sebuah proses perubahan, dari Thing-In-Itself menjadi Thing-for-Us,
dari hakikat benda-benda menuju apa yang berguna bagi kita. Dengan kata lain,
apa "yang tidak dapat dipahami" pada satu tahap perkembangan ilmu
pengetahuan akhirnya akan dapat dijelajahi dan dijelaskan. Tiap rintangan yang
ditempatkan di jalur pemikiran akan diruntuhkan. Tapi, dengan memecahkan satu
masalah, kita segera akan berhadapan dengan masalah-masalah baru yang harus
pula dipecahkan, tantangan-tantangan baru yang harus diatasi. Dan proses ini
tidak akan pernah berakhir, karena ciri-ciri dari jagad materialsungguhadalahtakberhingga.
David
Bohmmenulis, "Dengan
mengikuti analogi ini lebih jauh, kita dapat mengatakan bahwa dengan memandang
totalitas dari hukum alam kita tidak pernah memiliki cukup pandangan dan bidang
irisan untuk dapat memberi kita pemahaman utuh atas totalitas ini. Tapi sejalan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan, dan pengembangan ilmu-ilmu baru, kita
mendapatkan semakin banyak pandangan dari berbagai sisi, pandangan yang lebih
menyeluruh, pandangan yang lebih rinci, dsb. Tiap teori atau penjelasan
tertentu atas satu himpunan gejala yang tertentu pula hanya akan memiliki
wilayah kesahihan yang terbatas dan hanya cukup untuk konteks tertentu dan di
bawah kondisi yang terbatas. Hal ini berarti bahwa tiap teori yang
diekstrapolasi pada konteks yang acak dan pada kondisi yang acak akan (seperti
pandangan parsial kita atas objek) membawa kita pada peramalan-peramalan yang penuh
kesalahan. Penemuan kesalahan semacam itu adalah salah satu dari cara yang
terpenting untuk membuat kemajuandalamilmupengetahuan.
"Sebuah teori baru, apa yang akhirnya akan
dilahirkan dari penemuan kesalahan semacam itu, tidaklah merusak kesahihan teori
yang lama. Melainkan, dengan memungkinkan satu perlakuan atas wilayah yang
lebih luas daripada apa yang dapat ditangani oleh teori lama itu dan, dengan
melakukan itu, ia membantu mendefinisikan satu kondisi di mana teori yang lama
itu dapat mempertahankan kesahihannya (misalnya, seperti teori relativitas
mengoreksi hukum Newton tentang gerak, dan dengan demikian membantu menetapkan
batas-batas kondisi di mana hukum Newton berlaku yaitu di mana kecepatan
relatif rendah dibandingkan dengan kecepatan cahaya). Maka, kita tidak berharap
bahwa tiap hubungan kausal akan merupakan kebenaran mutlak; karena dengan
melakukan ini, mereka akan diharuskan untuk dapat diterapkan tanpa pendekatan
lagi dan tanpa pembatasan apapun. Melainkan, dengan demikian, kita melihat
bahwa cara kemajuan ilmu pengetahuan adalah, dan selalu, melalui serangkaian
pemahaman atas hukum alam yang semakin mendasar, luas dan akurat, setiap
pemahaman memberi sumbangan pada penetapan kondisi-kondisi kesahihan dari
pemahaman yang lebih dahulu (sebagaimana pandangan yang lebih luas dan rinci
atas objek kita membantu memberi batasan atas pandangan atauhimpunanpandangantertentu).
Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution,
Profesor Thomas Kuhn menggambarkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai revolusi
teoritik berkala, memutus masa-masa panjang yang hanya diisi oleh perubahan
kualitatif, yang diabdikan untuk mengisi rincian-rinciannya. Dalam masa-masa
"normal" semacam itu, ilmu pengetahuan bekerja di dalam satu himpunan
teori tertentu yang disebutnya paradigma, yang merupakan asumsi yang tidak
dipertanyakan lagi tentang bagaimana adanya dunia ini. Pada awalnya, paradigma
yang ada merangsang perkembangan ilmu pengetahuan, memberikan kerangka kerja
yang koheren untuk penyelidikan. Tanpa kerangka kerja yang disepakati
bersama-sama, para ilmuwan akan selamanya berdebat tentang hal-hal yang
mendasar. Ilmu pengetahuan, tidak lebih dari masyarakat, tidak dapat hidup
dalam masa-masa gejolak revolusioner yang permanen. Justru untuk alasan ini,
revolusi adalah hal yang jarang terjadi, baik dalam masyarakat maupun dalam ilmupengetahuan.
Selama beberapa waktu, ilmu pengetahuan dapat melangkah
maju di atas jalur yang telah dikenal ini, sambil menumpuk hasil. Tapi,
sementara itu, apa yang semula merupakan hipotesis baru yang berani akhirnya
diubah menjadi ortodoksi yang kaku. Jika sebuah percobaan menghasilkan sesuatu
yang bertentangan dengan teori yang ada, para ilmuwan mungkin
menyembunyikannya, karena hasil-hasil itu dianggap subversif terhadap tatanan
yang ada. Hanya ketika anomali itu bertumpuk sampai titik di mana mereka tidak
lagi dapat diabaikan, ketika itulah landasan baru disiapkan untuk munculnya
satu revolusi ilmiah, yang menggulingkan teori yang dominan dan membuka satu
masa perkembangan ilmu pengetahuan "normal" yang baru, pada tingkat
yanglebihtinggi.
Walaupun tentu sangat terlalu disederhanakan, gambaran
tentang perkembangan ilmu pengetahuan ini, sebagai sebuah generalisasi yang
luas, dapat dianggap benar. Dalam bukunya Ludwig Feuerbach, Engels menerangkan
sifat dialektik dari perkembangan pikiran manusia, seperti yang ditunjukkan
baik dalam sejarah ilmu pengetahuan maupun filsafat:
"Kebenaran, yang merupakan tugas filsafat untuk mengenalinya, di tangan
Hegel tidak lagi menjadi satu kumpulan pernyataan dogmatik yang sempurna, yang,
setelah ditemukan, tinggal dihafalkan saja. Kebenaran kini terletak dalam
proses pengenalan kebenaran itu sendiri, dalam perkembangan panjang sejarah
ilmu pengetahuan, yang bergerak dari tingkat pengetahuan rendah ke tinggi tanpa
pernah mencapai, melalui penemuan dari apa yang disebut kebenaran mutlak, satu
titik di mana ia tidak lagi dapat maju lebih jauh, di mana kita tidak lagi
memiliki sesuatupun untuk dikerjakan selain berpangku tangan dan menatap dengan
kagum pada kebenaranmutlak yang telahdimilikinya”.
"Baginya, [filsafat dialektik] tidak sesuatupun yang
final, mutlak, suci. Ia mengungkap sifat sementara dari segala sesuatu dan di
dalam segala sesuatu; tidak ada yang dapat menahannya kecuali proses tanpa
henti dari lahir dan mati, peningkatan bersinambung dari rendah ke tinggi. Dan
filsafat dialektik itu sendiri bukanlah apa-apa selain satu cerminan dari
proses ini, yang terjadi di dalam otak yang berpikir. Ia juga, tentu saja,
memiliki sisi konservatif: ia mengakui bahwa berbagai tahap tertentu dari ilmu
pengetahuan dan masyarakat dibenarkan bagi masa dan keadaan yang melingkupi
mereka; tapi hanya sebegitu saja. Konservatisme dari cara pandang ini adalah
relatif; sifat revolusionernya adalah mutlak - satu-satunya kemutlakan yang
diakui oleh filsafat dialektik.
C. Berpikir Kreatif dan Inovatif
Seperti yang sudah saya sampaikan dalam posting sebelumnya, change agent as a role model, bahwa mengajak orang untuk menjalani proses perubahan ternyata menjadi mudah jika proses perubahan tersebut sederhana dan menyenangkan. Kemudian saya juga sudah menyampaikan bahwa satu-satunya cara untuk dapat menemukan cara sederhana dan menyenangkan untuk melakukan perubahan tersebut adalah dengan berpikir kreatif daninovatif.
Dalam posting kali ini saya akan menyampaikan kembali metode sederhana namun powerful untuk berpikir kreatif dan inovatif yang disampaikan oleh bapak Alvin Soleh dariKMPlus pada workshop change agent knowledge management di Hotel Holiday Inn minggu ini.
Metode yang saya maksud dapat dijelaskan dengan gambar di bawah ini:
Preparation
Kegiatan yang termasuk dalam tahap preparation ini adalah pendefinisian tujuan dan rencana kerja yang jelas.
Identification of an opportunity
Dalam tahap kedua ini kita diharapkan mampu melihat peluang-peluang apa saja yang dapat kita peroleh apabila tujuan yang sudah kita tetapkan pada tahap sebelumnya tercapai.
Kita diminta menuliskan peluang-peluang tersebut pada tahap kedua ini.
Divergence (generating option)
Divergence bertujuan untuk memperoleh sebanyak mungkin opsi atau pilihan-pilihan cara untuk mencapai tujuan yang sudah kita tetapkan dalam tahap preparation. Cara yang paling efektif adalah dengan melakukan brainstroming ide dalam sebuah kelompok dan mencatat semua ide yang terlintas tanpa mempertanyakannya dalam tahap ini.
Gunakan imajinasi anda dalam proses mengumpulkan opsi ini.
Incubation
Incubation merupakan tahap pematangan ide-ide yang telah terkumpul dalam tahap divergence.
Dalam tahap ini kita perlu untuk menetapkan kriteria-kriteria untuk melakukan penyaringan ide dan memilih ide yang paling baik berdasarkan kriteria-kriteria tersebut. Kriteria yang dipakai dapat berupa biaya, manfaat, kemudahan implementasi, atau hal-hal lain yang dianggap relevan dalam proses yang sedang dijalankan.
Illumination (when a flash of insight occurs)
Dalam tahap ini kita diharapkan sudah memperoleh opsi yang akan dilaksanakan dari hasil penyaringan ide-ide yang didapatkan di tahap divergence dengan kriteria-kriteria yang kita tetapkan di tahap incubation.
Convergence (selecting option)
Pada tahap convergence ini kita lebih memfokuskan diri kita pada opsi yang telah kita pilih. Kata kunci yang penting dalam tahap ini adalah fokus dan lakukan.
Dengan menerapkan tahapan-tahapan berpikir kreatif dan inovatif di atas, kita akan lebih terarah dalam menghasilkan cara-cara inovatif untuk melaksanakan sesuatu termasuk jika kita ingin memperoleh cara yang sederhana dan menyenangkan untuk mendorong suatu perubahan.
D. PENGERTIAN GENERALISASI
Generalisasi dalam ilmu mantiq disebut istiqro' atau
istinbat). Generalisasi adalah istidlal yang di dasarkan atas memepelajari
terhadap sesuatu yang kecil dengan sunggug-sungguh darinya aqal bisa mengambil
kesimpulan umum.[1] Atau yang lebih umum mengenai generalisasi adalah proses
penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual menuju kesimpulan
umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang
diselidiki.[2] Dengan begitu, hukum yang disimpulkan dari fenomena yang diselidiki
berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki, oleh karena itu, hukum
yang dihasilkan oleh penalaran generalisasi tidak pernah sampai kepada
kebenaran pasti tetapi hanya sampai kepada kebenaran kemungkinan besar.
Contoh: ada beberapa fenomena, yaitu[3]:
o Hamid adalah mahasiswa tarbiyah….jujur
o Munir adalah mahasiswa tarbiyah….jujur
o Nurul adalah mahasiswa tarbiyah….jujur
o Faizin adalah mahasiswa tarbiyah….jujur
Jika disimpulkan bahwa semua mahasiswa tarbiyah itu jujur
maka kebenaran kesimpulan ini hanya mempunyai kebenaran kemungkinan besar
(probabilitas).
Atau dapat dicontohkan dengan fenomena lain, seperti besi,
melalui percobaan-percobaan pemanasan (memanaskan), ternyata besi itu memuai.
Percobaan dilakukan berulang-ulang diberbagai tempat dan waktu, hasilnya
terbukti sama yaitu menuai. Kesimpulan umum lantas ditarik bahwa besi jika
dipanaskan menuai.[4]
MACAM-MACAM GENERALISASI
Mengacu kepada kuantitas fenomena yang menjadi dasar
penyimpulan, generalisasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Generalisasi
Sempurna dan Generalisasi Sebagian.
1. Generalisasi Sempurna adalah generalisasi dimana seluruh
fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki semua, contoh. Semua bulan
masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31 hari. Dalam penyimpulan ini,
keseluruhan fenomena, yaitu jumlah hari pada setiap bulan dalam satu tahun
diselidiki tanpa ada yang ditinggalkan. Generalisasi semacam ini, memberikan
kesimpulan yang sangat kuat dan tidak dapat dipatahkan tetapi prosesnya tidak
praktis dan tidak ekonomis.
2. Generalisasi Sebagian, yaitu generalisasi dimana
kesimpulannya diambil berdasarkan sebagian fenomena yang kesimpulanya berlaku
juga bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki, misalnya. Setelah kita
menyelidiki sebagian bangsa Indonesia adalah menusia yang suka bergotong-royong
kemudian diambil kesimpulan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka
bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi sebagian
(probabilitas).
Meskipun macam generalisasi ini tidak menghasilkan
kesimpulan sampai ketingkat pasti tetapi proses generalisasi ini jauh lebih
praktis dan ekonomis, seperti halnya ilmu. Ilmu yang disusun berdasar fakta
observasi tidak untuk menyajikan kebenaran mutlak melainkan kebenaran
probabilitas sehingga sangat keliru jika diantara kita berkeyakinan bahwa ilmu
menyajikan hukum dan kesimpulan yang kebenarannya mutlak.
Jika kita berbicara mengenai generalisasi, maka generalisasi
yang dimaksud adalah generalisasi tidak sempurna. Menurut para ahli,
generalisasi ini disebut sebagai induksi tidak sempurna dan teknik inilah yang
paling banyak digunakan dalam menyusun ilmu pengetahuan. Dalam ilmu biologi
misalnya, Darwin menyatakan bahwa ‘Semua kucing putih yang bermata biru adalah
tuli.’ Kesimpulan ini didasarkan atas generalisasi tidak sempurna, demikian
pula pernyataan Cuvier bahwa “Tidak ada hewan yang bertanduk dan berkuku
telapak adalah pemakan daging”. Isaac Newton juga mendasarkan kesimpulannya
pada generalisasi tidak sempurna atas teorinya yang mashur tentang hukum gravitasi.
Ilmu-ilmu kealaman semua disusun berdasarkan generalisasi tidak sempurna,
demikian pula ilmu-ilmu sosial.
PENGUJIAN ATAS GENERALISASI
Untuk menguji apakah generalisasi yang dihasilkan cukup kuat
untuk dipercaya dapat kita pergunakan evaluasi berikut:[5]
1. Apakah sampel yang digunakan secara kuantitatif cukup
mewakili. Semakin banyak jumlah fenomena yang digunakan semakin kuat kesimpulan
yang dihasilkan, meskipun kita tidak boleh menyatakan bahwa dua kali jumlah
fenomena individual akan menghasilkan dua kali kadar keterpercayaan. Memang
tidak ukuran yang pasti berapa jumlah fenomena individual yang diperlakukakn
untuk dapat mengasilkan kesimpulan yang terpercaya. Contoh. Untuk menentukan
jenis darah seseorang cukup dengan satu titik darinya.
2. Apakah sampel yang digunakan cukup bervariasi. Untuk
mementukan kadar minat dan kesadaran berkoperasi sebagai sistem ekonomi yang
diharapkan bagi bangsa Indonesia, harus diteliti dari berbagai suku bangsa,
berbagai lapisan penghidupan, berbagai pendidikan. Semakin banyak variasi
sampel, semakin kuat kesimpulan yang dihasilkan.
3. Apakah dalam generalisasi itu diperhitungkan hal-hal yang
menyimpang dengan fenomena umum atau tidak. Kekecualian-kekecualian harus
diperhitungkan juga, terutama jika kekecualian cukup besar jumlahnya. Dalam hal
kekecualian cukup besar tidak mungkin diadakan generalisasi. Bila kekecualian
sedikit jumlahnya harus dirumuskan dengan hati-hati; kata-kata seperti semua,
setiap, selalu, tidak semuanya, sebagian besar, kebanyakan; harus didasarkan
atas pertimbangan rasional yang cermat. Semakin cermat faktor-faktor
pengecualian dipertimbangkan, semakin kuat kesimpulan yang dihasilkan.
4. Apakah yang dirumuskan konsisten dengan fenomena
individual, tidak boleh memberikan tafsiran menyimpang dari data yang ada.
Misalnya, penyelidikan tentang faktor utama penyebab rendahnya prestasi
akademik mahasiswa IAIN. Apabila data setiap individu dari sampel yang
diselidiki ditemukan faktor-faktor lemahnya penguasaan bahasa asing, kurang
berdiskusi, terlalu banyak jenis mata kuliah lalu disimpulkan bahwa penyebab
rendahnya prestasi itu adalah lemahnya penguasaan bahasa asing, ini tidak
merupakan konsekuensi logis dari fenomena yang dikumpulkan. Kesimpulan ini
lemah karena meninggal dua faktor tadi. Semakin banyak yang ditinggalkan,
semakin lemah kesimpulan yang dihasilkan.
GENERALISASI YANG SALAH
Kita telah mengetahui bahwa tingkat keterpercayaan suatu
generalisasi tergantung bagaimana tingkat terpenuhnya jawaban atas evaluasi
sebagaimana tersebut di atas. Semakin terpenuhnya syarat-syarat tersebut
semakin tinggi tingkat keterpercayaan generalisasi dan begitu pula sebaliknya.
Bagaimana juga ada kecenderungan umum untuk membuat
generalisasi berdasarkan fenomena yang sangat sedikit sehingga tidak mencukupi
syarat untuk dibuat generalisasi. Hal ini juga bisa disebut sebagai
generalisasi tergesa-gesa.[6] Dalam kehidupan sehari-hari kekeliruan seperti
ini sering sekali terjadi. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut; Ketika
kita ingin mengurusi permasalahan beasiswa di bagian TU Akademik Tarbiyah IAIN
dan dilayani dengan tidak profesional (mbulet), maka kita terhanyut pada
generalisasi yang salah kemudian kita menyatakan bahwa pelayanan TU Akademik
Tarbiyah IAIN tidak bagus (patut dipecat).
GENERALISASI EMPIRIK DAN GENERALISASI DENGAN PENJELASAN
Sebagaimana telah disebutkan bahwa generalisasi (sudah
barang tentu generalisasi tidak sempurna) tidak pernah mencapai tingkat
keterpercayaan mutlak namun kesimpulan yang dihasilkan menjadi terpercaya
manakala terpenuhi empat syarat yang telah disebutkan di atas. Apabila
generalisasi ini disertai dengan penjelasan ‘mengapa’ maka kebenaran yang
dihasilkan akan lebih kuat lagi.
Generalisasi yang tidak disertai dengan penjalasan
mengapa-nya atau generalisasi berdasarkan fenomenanya semata-mata disebut
generalisasi empirik. Atau dengan melihat pendapat Metron yang membatasi
generalisai empiris sebagai "suatu proposisi tersendiri yang meringkas
keseragaman hubungan yang diminati di antara dua tau lebih variable" yang
memisahkan istilah "hukum ilmiah" dengan "suatu pernyataan
invariant yang dapat ditarik dari suatu teori." Perbedaan diantara
berbagai generailisasi emperis ini, dimana teori penjelas yang tepat ternyata
belum ada dan di mana teori demikian telah ada.[7]
Taruhlah kita mempercayai generalisasi Darwin “semua kucing
berbulu putih dan bermata biru adalah tuli”. Pernyataan ini didasarkan atas
generalisasi yang benar dan terpercaya, sehingga kita semua mengakui kebenaran
pernyataan ini. Tetapi sejauh itu, pernyataan serupa ini hanya mendasarkan
kepada fenomenanya, maka hal ini adalah generalisasi empirik. Apabila kemudian
kita dapat menjelaskan mengapa kucing yang mempunnyai ciri-ciri serupa itu
adalah tuli, yakni menghubungkan bahwa ketiadaan pigmen pada bulu kucing dan
warna matanya mengakibatkan organ pendengarannya tidak berfungsi dan
generalisasi ini disebut generalisasi dengan penjelasan (explained generalization).
Generalisasi ini mempunyai taraf keterpercayaan hampir setingkat dengan
generalisasi sempurna.[8]
Kebayakan generalisasi pada kehidupan kita adalah
generalisasi empirik, yang berjalan bertahun-tahun bahkan berabad-abad sampai
akhirnya dapat diterangkan. Telah diketahui berdasarkan generalisasi bahwa
tanah yang ditanam secara bergantian dengan jenis lain secara teratur akan
menghasilkan panen yang lebih baik dibanding jika ditanami dengan tanaman yang
selalu sejenis. Ini diketahui sudah sejak berabad-abad, tetapi sedemikian jauh
masih merupakan generalisasi empirik.
Setelah bertahun-tahun manusia mendasarkan tindakannya atas
pengetahuan yang semata-mata empirik kemudian menemukan rahasianya bahwa
pergantian jenis tanaman akan menghasilkan kesuburan bagi tanah inilah yang
menyebabkan panenan berikutnya baik. Pengetahuan kita sekarang ini, bahwa
memanfaatkan tanah dengan menanaminya secara berganatian akan menghasilkan
panen yang bagus, menjadi pengetahuan generalisasi dengan penjelasan, karena
kita telah mengetahui hubungan kausalnya.
Jadi benarlah bahwa semua hukum alam mula-mula dirumuskan
melalui generalisasi empirik kemudian setelah diketahui hubungan kausalnya,
maka lahirlah generalisasi dengan penjelasn dan inilah yang melahirkan
penjelasan ilmiah
I. Filsafat Mistik
Pengertian Mistik
Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Menurut buku De Kleine W.P. Encylopaedie, kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis) (Ahmad Tafsir, 2004)
Terdapat banyak pengertian mengenai mistik, baik berdasarkan kamus bahasa Indonesia, ilmu antropologi dan filsafat sendiri. Berikut beberapa pengertian mengenai mistik tersebut :
Merupakan hal gaib yang sangat diyakini hingga tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa. (Pusat Bahasa Departemen P dan K, 2002)
Merupakan sub sistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan tuhan.
Merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam dan sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan. (Koentjaraningrat, 1980)
Merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio. (Ahmad Tafsir, 2004)
Perkataan mitos atau mythical sebagai pertimbangan nilai yang negatif tentang suatu kepercayaan atau riwayat. Walaupun begitu, kata tersebut dapat dipakai sebagai deskriptif semata-mata tanpa konotatif negatif. Mitos dapat menunjukkan kepada (1) dongengan-dongengan (2) bentuk-bentuk sastra yang membentangkan soal-soal spritual dalam istilah sehari-hari (3) cara berpikir tentang ketenaran-ketenaran yang tertinggi (ultimate). Bentuk pertama merupakan dongengan dengan binatang-binatang sebagai pelaku, tujuannya adalah memberi moral atau prinsip tindakan dan bukan untuk meriwayatkan suatu kejadian dalam sejarah secara terperinci. Bentuk kedua dalam arti sesungguhnya sangat bergantung pada konteks keagamaan. Bentuk ketiga merupakan bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak.
Merupakan pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio.
Apabila dikaitkan dengan budaya, maka pada hakekatnya mistik merupakan merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak di dalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya.
J. Cinta dan filsafat berfikir (logika)
Cinta…memang membingungkan, bahkan terkadang cinta sangat sulit untuk didefinisikan. Cinta datang dan pergi sesuka hati dan bahkan cita hadir dalam hati tanpa permisi dan tanpa mengucap salam hadir dan hinggap dalam sanu bari. Tapi disatu sisi kehadiran cinta pun dapat dijemput, karena cinta hadir dan bersemi karena keterbiasaan. Biasa bersama, biasa bersenda gurau, biasa memberi dan menerima dan seterusnya.
Banyak dari kita terbuai olehnya, sehingga pada saat mencinta kita pun sulit untuk tidak mengabaikan logika. Sebagai contoh sederhana adalah pada saat seseorang atau kita sedang jatuh cinta atau mencinta maka yang terlihat oleh kita pada pasangan kita atau orang yang kita cinta adalah hal – hal yang baik – baik saja sedangkan yang hal lainnya berkecenderungan untuk diabaikan. Dengan kata lain yang bermain dan mendominasi diri kita adalah hati atau perasaan. Begitu pula sebaliknya jika kita sedang kecewa atau sakit hati maka yang terlihat adalah sisi yang berbeda dengan saat kita mencinta.
Logika dan cinta memang tidak dapat digunakan pada saat yang bersamaan dalam waktu yang sama pula karena keduanya memiliki peran dan karakteristik yang unik dan berbeda. Menurut filsafat IPA tidak akan akan mungkin jika ada kedua kekuatan dengan massa yang sama besar berjalan berdampingan dalam waktu yang bersamaan dengan kapasitas yang sama pula. Begitu pula cinta dan logika tidak akan berdampingan pada saat yang bersamaan dan dalam waktu yang sama pula. Salah satu dari mereka “logika atau cinta” pasti akan kalah atau sengaja dikalahkan. Ynag sulit untuk ditentukan mana – mana yang kalah dan mana – mana yang akan menang, semua itu bersifat temporer dan subyektif penilaiannya.
Esensi dari cinta itu pada dasarnya adalah esensi dari jiwa, dimana menurut philosof muslim Al – Farabi dan Aristoteles jiwa merupakan esensi tersendiri yang bersifat immaterial. Jiwa dapat berdiri sendiri. Berbeda dengan cinta, logika merupakan kepanjangan tangan dari jiwa “cinta” itu sendiri yang merealisasikan dari esensi jiwa melaui sensor – sensornya dan dengan gerakan – gerakan otot yang bekerja. Bekerjanya gerakan otot tersebut dikontrol oleh logika dan logika sangat dipengaruhi oleh jiwa. Logika dapat bekerja jika individunya menerima rangsangan dan respon dari panca indera yang bekerja.
Dengan kata lain pada dasarnya cinta dapat berdiri sendiri tanpa adanya logika yang bekerja. Tetapi jika cinta berdiri dan mendefinisikan dirinya sendiri “cinta”, maka tidak akan terjalin hubungan yang harmonis antar mahluk – mahluk kecil pengisi jagad raya yang sedang mencinta. Sehingga tidak akan ada lagi drama percintaan dalam sebuah sinetron yang mengharu biru atau telenovela yang didalamnya erat dengan cerita percintaan. Hal ini dikarenakan cinta tetap membutuhkan logika sebagai penyeimbang atau balancing dari sikap dan sifatnya.
Cinta dan logika memang hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Keduanya akan memainkan peran dan fungsinya masing – masing tergantung dari kebutuhan yang diakomodir oleh insan yang mencinta. Karena pada saat seseorang sedang jatuh cinta dan mencinta maka orang itu secara tidak langsung sudah berpolitik. Hal ini ditunjukan oleh bagaimana ia berusaha untuk memperoleh dan mempertahankan cintanya. Dan yang harus disadari pada saat orang sudah bepolitik maka orang tersebut pasti akan memanipulasi keadaan, menganalisis permasalahan melalui suatu respon dengan stimilasinya atau apa pun. Dengan kata lain pada saat seseorang sedang dan akan mencinta maka ia akan berlogika ria Logika pun memilki suatu kebutuhan dan prosesi khusus yang menjadi bahan pembelajaran sehingga menjadi suatu pengalan – penggalan cerita dan pengalaman. Dengan bercinta maka orang pun belajar, karena dengan itu akan terjadi proses pembelajaran didalamnya tanpa disadari atau tidak. Disina antara keduanya “cinta dan logika” saling memenuhi dan mengisi tetapi tidak secara besamaan melainkan berselingan. Sehingga definisi tentang cinta pun sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata karena adar perasaan dan hati yang bermain dan diimbangi oleh logika tentunya. (http://salman-rusdi.blogspot.com/2012/10/cinta-dan-logika-dalam-filsafat-berfikir.html)
(http://tugaskuliahqu.blogspot.com/2010/01/filsafat-dan-etika-komunikasi.html)